Tugas Kelompok Ilmu Budaya Dasar
Tugas
Ilmu
Budaya Dasar 2
DI SUSUN OLEH:
AULIA RACHMAN(11116203)
HAGAI SUDIRMAN(17115632)
AHMAD AZHAR(10116348)
JIHADI FAHRUL ALAM MUHFID(13116722)
KELAS : 1KA19
NAMA DOSEN : RAMITA HAPSARI
FAKULTAS : ILMU KOMPUTER & TEKNOLOGI INFORMASI
JURUSAN : SISTEM INFORMASI
MATA KULIAH : ILMU BUDAYA DASAR
1.Latar Belakang Betawi
Penduduk asli Jakarta dengan ciri
utamanya mempergunakan bahasa Betawi sebagai bahasa ibu, tinggal dan
berkembang di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Terbentuk sekitar
abad ke-17, merupakan hasil dari campuran beberapa suku bangsa
seperti Bali, Sumatera, China, Arab dan Portugis. Dari latar belakang
sosial dan budaya yang berbeda-beda, mereka mencoba mencari identitas
bersama dalam bentuk lingua franca bahasa Melayu yang akhirnya
terbentuk masyarakat homogen secara alamiah. Suku bangsa ini biasa
juga disebut Orang Betawi atau Orang Jakarta (atau Jakarte
menurut logat Jakarta). Nama "Betawi" berasal dari kata
"Batavia". Nama yang diberikan oleh Belanda pada zaman
penjajahan dahulu.
Jakarta, yang terletak di pinggir pantai atau
pesisir, dalam proses perjalanan waktu menjadi kota dagang, pusat
administrasi, pusat kegiatan politik, pusat pendidikan, dan disebut
kota budaya. Proses perkembangan itu amat panjang, sejak lebih dari 400
tahun yang lalu. Sejak masa itulah Jakarta menjadi arena pembauran
budaya para pendatang dari berbagai kelompok etnik. Mereka
datang dengan berbagai sebab dan kepentingan, dan tentunya dengan
latar belakang budaya masing-masing, sehingga menjadi
suatu kebudayaan baru bagi penghuni Kota Jakarta, dan pendukung
kebudayaan baru itu menyebut dirinya "Orang Betawi."
Anggota suku
bangsa atau bangsa asing (dari luar Jakarta) tadi mulai berdiam
di Jakarta pada waktu yang berbeda-beda. Pendatang paling dahulu
adalah orang Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Sunda, diikuti
oleh anggota-anggota suku bangsa lainnya. Orang asing yang datang sejak
awal adalah orang Portugis, Cina, Belanda, Arab, India, Inggris, dan
Jerman. Unsur-unsur budaya kelompok etnik atau bangsa itu
berasimilasi dan melahirkan budaya baru yang tampak dalam bahasa, kesenian,
kepercayaan, cara berpakaian, makan, dan lain-lain.
2.Unsur-unsur
kebudayaan betawi
Sebutan
suku, orang, kaum Betawi, muncul dan mulai populer ketika Mohammad Husni
Tamrin mendirikan perkumpulan "Kaum Betawi" pada
tahun 1918. Meski ketika itu "penduduk asli belum dinamakan
Betawi, tapi Kota Batavia disebut "negeri" Betawi. Sebagai
kategori "suku" dimunculkan dalam sensus penduduk
tahun 1930. Asal mula Betawi terdapat berbagai pendapat, yang
mengatakan berasal dari kesalahan penyebutan kata Batavia menjadi Betawi.
Ada pula cerita lain, yaitu pada waktu tentara Mataram menyerang Kota
Batavia yang diduduki oleh Belanda, tentara Belanda kekurangan
peluru. Belanda tidak kehilangan akal, mereka mengisi
meriam-meriamnya dengan kotoran mereka dan menembakkan meriam-meriam
itu ke arah tentara Mataram sehingga tersebar bau tidak enak, yakni
bau kotoran orang-orang Belanda. Sambil berlarian ten tara Mataram
berteriak-teriak: Mambu tai! Mambu tai! Artinya bau tahi!
bau tahi! Dari kata mambu tai itulah asal mula nama Betawi.
Menurut Bunyamin Ramto, masyarakat Betawi secara
geografis dibagi dua bagian, yaitu Tengah dan Pinggiran. Masyarakat Betawi
Tengah meliputi wilayah yang dahulu menjadi Gemente Batavia
minus Tanjung Priok dan sekitarnya atau meliputi radius kurang lebih
7 km dari Monas, dipengaruhi kuat oleh budaya Melayu dan Agama Islam
seperti terlihat dalam kesenian Samrah, Zapin dan berbagai macam
Rebana. Dari segi bahasa, terdapat banyak perubahan vokal a
dalam suku kata akhir bahasa Indonesia menjadi e, misal guna menjadi
gune.
Masyarakat
Betawi Pinggiran, sering disebut orang sebagai Betawi Ora yang
dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu bagian utara dan selatan. Kaum
Betawi Ora dalam beberapa desa di sekitar Jakarta berasal dari orang
Jawa yang bercampur dengan suku-suku lain. Sebagian besar mereka itu
petani yang menanam padi, pohon buah dan sayur mayur. Bagian utara
meliputi Jakarta Utara, Barat, Tangerang yang dipengaruhi
kebudayaan Cina, misalnya musik Gambang Kromong, tari Cokek dan
teater Lenong. Bagian Selatan meliputi Jakarta Timur, Selatan, Bogor,
dan Bekasi yang sangat dipengaruhi kuat oleh kebudayaan Jawa
dan Sunda. Sub dialeknya merubah ucapan kata-kata yang memiliki akhir
kata yang berhuruf a dengan ah, misal gua menjadi guah.
Komunitas penduduk di Jawa (Pulau Nusa Jawa) yang
berbahasa Melayu, dikemudian hari disebut sebagai orang Betawi. Orang
Betawi ini disebut juga sebagai orang Melayu Jawa. Merupakan
hasil percampuran antara orang-orang Jawa, Melayu, Bali, Bugis,
Makasar, Ambon, Manado, Timor, Sunda, dan mardijkers (keturunan
Indo-Portugis) yang mulai menduduki kota pelabuhan Batavia sejak awal
abad ke-15. Di samping itu, juga merupakan percampuran darah
antara berbagai etnis: budak-budak Bali, serdadu Belanda dan serdadu
Eropa lainnya, pedagang Cina atau pedagang Arab, serdadu Bugis atau
serdadu Ambon, Kapten Melayu, prajurit Mataram, orang Sunda dan
orang Mestizo.
Sementara itu mengenai manusia Betawi purbakala,
adalah sebagaimana manusia pulau Jawa purba pada umumnya, pada zaman
perunggu manusia Betawi purba sudah mengenal bercocok tanam.
Mereka hidup berpindah-pindah dan selalu mencari tempat hunian yang
ada sumber airnya serta banyak terdapat pohon buah-buahan. Mereka pun
menamakan tempat tinggalnya sesuai dengan sifat tanah yang
didiaminya, misalnya nama tempat Bojong, artinya "tanah
pojok".
Dalam buku Jaarboek van Batavia
(Vries, 1927) disebutkan bahwa semula penduduk pribumi terdiri dari
suku Sunda tetapi lama kelamaan bercampur dengan suku-suku lain dari
Nusantara juga dari Eropa, Cina, Arab, dan Jepang. Keturunan mereka
disebut inlanders, yang bekerja pada orang Eropa dan Cina sebagai
pembantu rumah tangga, kusir, supir, pembantu kantor, atau opas.
Banyak yang merasa bangga kalau bekerja di pemerintahan meski gajinya
kecil. Lain-lainnya bekerja sebagai binatu, penjahit, pembuat sepatu
dan sandal, tukang kayu, kusir kereta sewaan, penjual buah dan
kue, atau berkeliling kota dengan "warung dorongnya".
Sementara sebutan wong Melayu atau orang Melayu lebih
merujuk kepada bahasa pergaulan (lingua franca)
yang dipergunakan seseorang, di samping nama "Melayu"
sendiri memang sudah menjadi sebutan bagi suku bangsa yang berdiam
di Sumatra Timur, Riau, Jambi dan Kalimantan Barat.
Posisi wanita Betawi di bidang
pendidikan, perkawinan, dan keterlibatan dalam angkatan kerja relatif
lebih rendah apabila dibandingkan dengan wanita lainnya di Jakarta
dan propinsi lainnya di Indonesia. Keterbatasan kesempatan wanita
Betawi dalam pendidikan disebabkan oleh kuatnya pandangan hidup
tinggi mengingat tugas wanita hanya mengurus rumah tangga
atau ke dapur, disamping keterbatasan kondisi ekonomi
mereka. Situasi ini diperberat lagi dengan adanya prinsip
kawin umur muda masih dianggap penting, bahkan lebih
penting dari pendidikan. Tujuan Undang-Undang Perkawinan untuk
meningkatkan posisi wanita tidak banyak memberikan hasii. Anak yang
dilahirkan di Jakarta, tidak mempunyai hubungan dengan tempat
asal di luar wilayah bahasa Melayu, dan tidak mempunyai
hubungan kekerabatan atau adat istiadat dengan kelompok etnis lain
di Jakarta.
Mata pencaharian orang Betawi dapat dibedakan
antara yang berdiam di tengah kota dan yang tinggal di pinggiran. Di
daerah pinggiran sebagian besar adalah petani buahbuahan, petani
sawah dan pemelihara ikan. Namun makin lama areal pertanian
mereka makin menyempit, karena makin banyak yang dijual untuk
pembangunan perumahan, industri, dan lain-lain. Akhirnya para
petani ini pun mulai beralih pekerjaan menjadi buruh, pedagang, dan
lain-lain.
Dalam sistem kekerabatan, pada prinsipnya mereka
mengikuti garis keturunan bilineal, artinya garis keturunan pihak
ayah atau pihak ibu. Adat menetap sesudah nikah sangat tergantung
pada perjanjian kedua pihak orang tua sebelum pernikahan
dilangsungkan. Ada pengantin baru yang menetap di lingkungan kerabat
suami (patrilokal) dan ada pula yang menetap di lingkungan kerabat
istri (matrilokal). Secara umum orang tua cenderung menyandarkan hari
tuanya pada anak perempuan. Mereka menganggap anak perempuan akan
lebih telaten mengurus orang tua dari pada menantu perempuan.
Tatanan sosial orang Betawi lebih didasarkan pada
senioritas umur, artinya orang muda menghormati orang yang lebih
tua. Hal ini dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari. Apabila
seseorang bertemu dengan orang lain, yang muda mencium tangan orang
yang lebih tua. Pada hari-hari Lebaran, orang yang didahulukan
adalah orang tua atau yang dituakan. Memang orang Betawi juga cukup
menghormati haji, orang kaya, orang berpangkat, asalkan mereka memang
"baik" dan bijaksana, atau memperhatikan kepentingan masyarakat.
Latar belakang jumlah penduduk atau pendukung
budaya Betawi, pada masa lalu maupun sekarang tidak diketahui secara
pasti. Catatan yang berasal dari tahun 1673 menunjukkan bahwa jumlah
penduduk (dalam tembok kota) Jakarta adalah 27.068 jiwa. Jumlah ini
terdiri atas orang "merdeka" dan "budak", yang
banyaknya hampir seimbang. Penduduk di luar tembok kota berjumlah
7.286 jiwa. Mereka yang berada dalam tembok kota terdiri atas
orang Mardijkers, Cina, Belanda, Moor, Jawa, Bali, Peranakan Belanda,
dan Melayu. Golongan yang jumlahnya terbesar adalah Mardijkers (5.362
jiwa) dan yang terkecil Melayu (611 jiwa). Menurut proyeksi lebih baru
tentang jumlah orang Betawi di Jakarta dan sekitarnya, jumlah orang
Betawi pada tahun 1930 (menurut sensus) adalah 418.894 jiwa, dan pada
tahun 1961 adalah 655.400 jiwa.
Merupakan
sebuah kebudayaan yang dihasilkan melalui percampuran antar etnis dan
suku bangsa, seperti Portugis, Arab, Cina, Belanda, dan bangsa-bangsa
lainnya. Dari benturan kepentingan yang dilatarbelakangi
oleh berbagai budaya. Kebudayaan Betawi mulai terbentuk pada abad
ke-17 dan abad ke-18 sebagai hasil proses asimilasi penduduk Jakarta
yang majemuk. Menurut Umar Kayam, kebudayaan Betawi ini
sosoknya mulai jelas pada abad ke-19. Yang dapat disaksikan,
berkenaan dengan budaya Betawi diantaranya bahasa logat
Melayu Betawi, teater (topeng Betawi, wayang kulit Betawi), musik
(gambang kromong, tanjidor, rebana), baju, upacara perkawinan
dan arsitektur perumahan.
Berdasarkan pemakaian logat bahasa, budaya Betawi
dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu: 1) Betawi Pesisir,
termasuk Betawi Pulo; 2) Betawi Tengah/Kota; 3) Betawi Pinggir; 4)
Betawi Udik, daerah perbatasan dengan wilayah budaya Sunda. Jika
pemetaan budaya disusun berdasarkan intensitas transformasi budaya Barat,
maka terbagi menjadi tiga, yaitu: 1) Betawi Indo; 2) Betawi
Tengah/Kota; 3) Betawi Pesisir, Pinggir, Udik.
Dalam kebudayaan Betawi terlihat jelas pengaruh
kebudayaan Portugis, terutama dalam bahasa. Rupanya bahasa
Portugis pernah mempunyai pengaruh yang berarti di kalangan
masyarakat penghuni Jakarta. Pengaruh Portugis terasa pula dalam
seni musik, tari-tarian, dan kesukaan akan pakaian hitam. Budaya
Portugis ini masuk melalui orang Moor (dari kata Portugis Mouro, artinya
"muslim"). Pengaruh Arab itu tampak dalam bahasa, kesenian dan
tentunya dalam budaya Islam umumnya. Budaya Cina terserap terutama
dalam bentuk bahasa, makanan dan kesenian. Dalam kesenian, pengaruh
budaya Cina tercermin, misalnya pada irama lagu, alat dan nama alat
musik, seperti kesenian Gambang Rancak.
Pengaruh Belanda
terasa antara lain dalam mata pencaharian, pendidikan, dan
lain-lain. Hingga saat ini, unsur budaya asing lain dapat dirasakan
di sana sini dalam budaya Betawi.
Kehadiran berbagai anggota suku bangsa ditandai
adanya nama-nama kampung atau tempat di Jakarta yang menunjukkan asal
mereka, misalnya ada Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Bugis,
Kampung Makasar, Kampung Jawa, Kampung Ambon. Di antara
kelompok-kelompok etnik tersebut di atas, kelompok etnik Melayu
menempati kedudukan yang cukup penting, meskipun jumlah
mereka relatif sedikit dibandingkan oleh orang Bali, Bugis, Cina dan
lain-lain. Pengaruh Melayu menjadi penting karena peranan bahasanya.
Gambaran
beberapa kebiasaan hidup berkaitan dengan berkeluarga dan
rumah masyarakat Betawi, khususnya di daerah Jakarta Timur/Tenggara
dan lainnya. Khusus menyoroti berbagai etika yang harus
dilaksanakan dalam hubungan antara pria bujang dengan gadis penghuni
rumah. Awalnya laki-laki akan ngglancong bersama-sama kawannya,
berkunjung ke rumah calon istrinya untuk bercakap-cakap dan
bergurau sampai pagi. Hubungan tersebut tidak dilakukan secara
langsung tetapi melalui jendela bujang atau jendela Cina. Si
laki-laki duduk atau tiduran di peluaran (ruang
depan) sedangkan si perempuan ada di dalam rumah mengintip dari balik
jendela bujang. Perempuan juga tidak boleh duduk di trampa (ambang
pintu). Ada kepereayaan "perawan dilamar urung, laki-laki
dipandang orang", yang artinya perempuan susah ketemu jodoh dan
kalau laki-laki bisa disangka berbuat jahat. Maksudnya,
perempuan yang duduk di atas trampa dianggap memamerkan diri
dan dipandang tidak pantas. Sementara apabila laki-laki
yang melanggar trampa dapat dianggap sebagai orang yang yang
bermaksud jahat.
Muncul juga istilah ngebruk, yaitu apabila
laki-laki berani melangkahi trampa rumah (terutama rumah yang ada
anak gadisnya) maka perjaka itu diharuskan mengawini gadis yang
tinggal di rumah tersebut. Karena kalau tidak dikawinkan
akan mendapat nama yang tidak baik dalam masyarakat. Pengertian ngebruk
juga disebut "nyerah diri", dalam arti si laki-laki
datang ke rumah perempuan yang ingin dinikahinya dengan menyerahkan
uang atau pakaian. Hal ini dilakukan jika belum ada
persetujuan terhadap hubungan itu atau karena kondisi keuangan yang
belum memenuhi syarat.
3.Nilai – nilai yang terkandung didalam suku Betawi
Kebudayaan Betawi adalah jiwa sosial mereka yang sangat tinggi walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. Juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Mereka sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang masih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel,gambang kromong, dan lain-lain.Banyak sekali hal – hal positif yang dapat kita terima di dalam budaya itu sendiri, baik dalam segala aspek seperti sosial, seni, budaya, agama, dan masih banyak hal positif yang bisa kita dapat dari adat dan istiadat tersebut. Akan tetapi suatu budaya atau adat istiadat tidak semuanya bersifat positif, pasti ada beberapa nilai ataupun kebiasaan dari adat istiadat yang memiliki nilai negative dan berdampak buruk bagi perkembangan atau menghambat seseorang yang menganut adat istiadat tersebut jika dia melakukannya.
Beberapa hal atau kebiasaan dari adat istiadat betawi yang memiliki nilai negatif diantaranya:
1.Melupakan Bahasa Indonesia/ Bahasa Sendiri
Banyak orang yang memiliki keturunan
Betawi atau sering disebut dengan Betawi Tulen terkadang sering sekali
menggunakan bahasa betawi dalam kesehariannnya. Dan mereka juga sering sekali
melupakan bagaimana cara menggunakan bahasa Indonesia yang baik serta melupakan
bahasa kebesarannya tersebut.
2.Lebih mementingkan Gengsi
Terkadang ada sebagian orang yang memiliki adat
istiadat Betawi memiliki “Gengsi” atau rasa malu yang amat tinggi dan mahal
harganya. Hal ini dikarenakan mungkin di masa lalu, keturunan betawi sangat
berkuasa dan memiliki apa yang mereka inginkan sehingga membuat mereka sedikit
memiliki Gengsi yang besar.
3.Tidak suka untuk diperintah
Mungkin hal ini sering kali ditemukan di beberapa
kesempatan, sebagian besar orang Betawi terkadang mempunyai prinsip yaitu
“Lebih baik memerintah daripada diperintah”. Terlebih jika mereka diperintah
oleh orang yang derajat ataupun umurnya lebih rendah dari individu mereka
masing – masing.
4.Keras Kepala
Hal ini sering kali terjadi di keseharian hidup
masyarakat Betawi. Mereka yang memiliki adat istiadat betawi sering kali keras
kepala dalam segala hal, selalu ingin menang atau diutamakan ketika
berdebat maupun jika ada suatu masalah. Mereka beranggapan pendapat atau
pandangan mereka adalah yang paling benar dan hal tersebut tidak dapat diganggu
gugat oleh siapapun dengan kepentingan apapun.
5.Malas dalam bekerja
Pada beberapa kesempatan banyak orang yang memiliki
adat istiadat betawi terkadang suka merasa malas dalam melakukan berbagai macam
pekerjaan. Sering juga dikatakan sebagai “mood – mood-an”. Mereka lebih senang
mengerjakan suatu pekerjaan apabila sedang ingin melakukannya, dan apabila
mereka sedang malas dan sama sekali tidak ingin melakukan sesuatu apapun maka
mereka tidak akan melakukan pekerjaan tersebut. Hal ini mungkin dikarenakan
banyak dari mereka yang merasa dapat mendapatkan segala sesuatu yang mereka
inginkan hanya dengan menyebutkan keinginan mereka tersebut tanpa melakukan
pekerjaan apapun.
Akan tetapi saya sebagai seorang
yang dilahirkan di tanah Betawi dikenalkan budaya tersebut sejak kecil, saya
tidak terlalu sependapat dengan nilai – nilai negatif yang terdapat di atas
tadi. Menurut saya, semua adat dan istiadat itu sama akan tetapi yang
membedakan itu tergantung dari sosok karakter pribadi individunya sendiri
bukan dari pandangan positif atau negatif dari orang-orang mengenai suku adat
orang tersebut. Jadi, karakter dari masing-masing suku atau adat istiadat itu
tidak menjamin seseorang itu bisa dikategorikan termasuk dari semua nilai –
nilai negatif yang terkadung dalam adat istiadat mereka sendiri.
Jadi, semua nilai – nilai negatif
yang terkandung atau terdapat pada suatu adat istiadat seseorang itu tergantung
siapa orang atau individu yang menerima adat dan istiadat tersebut. Jika orang
tersebut memiliki keyakinan yang tinggi terhadap budaya dan adat istiadatnya,
maka mereka tidak akan pernah membiarkan adat istiadat mereka ternodai dengan
nilai – nilai negatif yang disebabkan oleh perilaku pribadi mereka sendiri.
4.Tradisi Pernikahan Adat Betawi
Pernikahan ala betawi bagi kampung kukusan,
kampung sawah, kampung cipedak masih sering ditemukan walau dibeberapa kegiatan
sudah banyak yang diabaikan. Untuk itu mari para abang none yang tergabung
dalam Forkabi, Forkot, Betawi Rembug, Perbekut dan anggota komunitas muda
betawi lainnya untuk bersama menyimak saduran dari swaberita.com agar budaya adat nikah ala betawi
kembali ke hitahnya, semoga sekecil apapun yang kita lakukan menjadi catatan
tersendiri bagi penerus nanti.
Masyarakat Betawi memiliki sejarah panjang
sebagaimana terbentuknya kota Jakarta sebagai tempat domisili asalnya. Sebagai
sebuah kota dagang yang ramai, Sunda Kelapa, nama Jakarta tempo dulu,
disinggahi oleh berbagai suku bangsa. Penggalan budaya Arab, India, Cina,
Sunda, Jawa, Eropa, Melayu dan sebagainya seakan berbaur menjadi bagian dari
karakteristik kebudayaan Betawi yang kita kenal kini. Singkat kata, tradisi
budaya Betawi laksana ‘campursari’ dari beragam budaya dan elemen etnik masa
silam yang secara utuh menjadi budaya Betawi kini.
Suku Betawi sangat mencintai kesenian, salah satu
ciri khas kesenian mereka yaitu Tanjidor yang dilatar belakangi dari budaya
belanda, selain itu betawi memiliki kesenian keroncong tugu yang dilatar
belakangi dari budaya Portugis-Arab, kesenian gambang kromong yang dilatar
belakangi dari budaya cina. Selain kesenian yang selalu ditampilkan dengan
penuh kemeriahan, tata cara pernikahan budaya betawi juga sangat meriah.
Untuk adat prosesi pernikahan betawi, ada banyak
serangkaian prosesi. Didahului masa perkenalan melalui “Mak Comblang”.
Dilanjutkan lamaran, pingitan, upacara siraman. Prosesi potong cuntung atau
ngerik bulu kalong dengan uang logam yang diapit lalu digunting. Kemudian
dilanjutkan dengan malam pacar, malam dimana mempelai wanita memerahkan kuku
kaki dan tangannya dengan pacar. Puncak adat betawi adalah Akad nikah.
Tradisi Meriah
Meriah dan penuh warna-warni, demikian gambaran
dari tradisi pernikahan adat Betawi. Diiringi suara petasan, rombongan keluarga
mempelai pria berjalan memasuki depan rumah kediaman mempelai wanita sambil
diiringi oleh ondel-ondel, tanjidor serta marawis (rombongan pemain rebana
menggunakan bahasa arab). Mempelai pria berjalan sambil menuntun kambing yang
merupakan ciri khas keluarga betawi dari Tanah Abang.
Sesampainya didepan rumah terlebih dulu diadakan
prosesi “Buka Palang Pintu”, berupa berbalas pantun dan Adu Silat antara wakil
dari keluarga pria dan wakil dari keluarga wanita. Prosesi tersebut dimaksudkan
sebagai ujian bagi mempelai pria sebelum diterima sebagai calon suami yang akan
menjadi pelindung bagi mempelai wanita sang pujaan hati. Uniknya, dalam setiap
petarungan silat, pihak mempelai wanita pasti dikalahkan oleh jagoan calon
pengantin pria.
Prosesi Akad Nikah
Pada saat akad nikah, rombongan mempelai pria memberikan hantaran berupa :1. Sirih, gambir, pala, kapur dan pinang artinya segala pahit, getir, dan manisnya kehidupan rumah tangga harus dijalani bersama antara suami dan istri.
2. Maket Mesjid, maksudnya adalah agar mempelai wanita tidak lupa akan kewajibannya kepada agama dan harus menjalani shalat serta mengaji.
3. Kekudung, berupa barang kesukaan mempelai wanita misalnya salak condet, jamblang, dan sebagainya.
4. Mahar atau mas kawin dari pihak pria untuk diberikan kepada mempelai wanita.
5. Pesalinan berupa pakaian wanita seperti kebaya encim, kain batik, kosmetik, sepasang roti buaya. Buaya merupakan pasangan yang abadi dan tidak berpoligami serta selalu mencari makan bersama-sama.
6. Petise yang berisi sayur mayur atau bahan mentah untuk pesta, misal : wortel, kentang, bihun, buncis dan sebagainya.
Acara berlanjut dengan pelaksanaan akad nikah.
Yang kemudian dilanjutkan dengan penjemputan pengantin wanita. Selanjutnya,
kedua pengantin dinaikkan ke dalam sebuah delman yang sudah dihias dengan
masing-masing seorang pengiring. Delman tersebut ditutupi dengan kain pelekat
hitam sehingga tidak kelihatan dari luar. Akan tetapi, dengan kain pelekat
hitam yang ditempelkan pada delman, maka orang-orang mengetahui bahwa ada
pengantin yang akan pergi ke penghulu. Pernikahan
Pada hari pesta pernikahan, baik pengantin pria
maupun pengantin wanita, mengenakan pakaian kebesaran pengantin dan dihias.
Dari gaya pakaian pengantin Betawi, ada dua budaya asing yang melekat dalam
prosesi pernikahan. Pengantin pria dipengaruhi budaya Arab. Sedangkan busana
pengantin wanita dipengaruhi adat Tionghoa. Demikian pula dengan musik yang
meramaikan pesta pernikahan.
5.Tahapan
dalam Rangkaian Upacara Pernikahan Adat Betawi
1. Ngedelengin
Untuk sampai ke jenjang pernikahan, sepasang
muda-mudi betawi (sekarang) biasanya melalui tingkat pacaran yang disebut berukan.
Masa ini dapat diketahui oleh orangtua kedua belah pihak, tetapi tidak asing
kalau orangtua kedua belah pihak tidak mengetahui anaknya sedang pacaran.
Sistem pernikahan pada masyarakat Betawi pada
dasarnya mengikuti hukum Islam, kepada siapa mereka boleh atau dilarang
mengadakan hubungan perkawinan. Dalam mencari jodoh, baik pemuda maupun pemudi
betawi bebas memilih teman hidup mereka sendiri. Karena kesempatan untuk
bertemu dengan calon kawan hidup itu tidak terbatas dalam desanya, maka banyak
perkawinan pemuda pemudi desa betawi terjadi dengan orang dari lain desa. Namun
demikian, persetujuan orangtua kedua belah pihak sangat penting, karena
orangtualah yang akan membantu terlaksanakannya pernikahan tersebut.
Biasanya prosedur yang ditempuh sebelum
terlaksananya pernikahan adat adalah dengan perkenalan langsung antara pemuda
dan pemudi. Bila sudah ada kecocokan, orangtua pemuda lalu melamar ke orangtua
si gadis. Masa perkenalan antara pria dan wanita pada budaya Betawi zaman dulu
tidak berlangsung begitu saja atau terjadi dengan sendirinya. Akan tetapi,
diperlukan Mak Comblang seperti Encing atau Encang (Paman dan bibi) yang akan
mengenalkan kedua belah pihak.
Istilah lain yang juga dikenal dalam masa
perkenalan sebelum pernikahan dalam adat Betawi adalah ngedelengin. Dulu, di
daerah tertentu ada kebiasaan menggantungkan sepasang ikan bandeng di depan
rumah seorang gadis bila si gadis ada yang naksir. Pekerjaan menggantung ikan
bandeng ini dilakukan oleh Mak Comblang atas permintaan orangtua si pemuda. Hal
ini merupakan awal dari tugas dan pekerjaan ngedelengin.
Ngedelengin bisa dilakukan siapa saja termasuk si
jejaka sendiri. Pada sebuah keriaan atau pesta perkawinan biasanya ada malem
mangkat. Keriaan seperti ini melibatkan partisipasi pemuda. Di sinilah ajang
tempat bertemu dan saling kenalan antara pemuda dan pemudi. Ngedelengin juga
bisa dilakukan oleh orangtua walaupun hanya pada tahap awalnya saja.
Setelah menemukan calon yang disukai, kemudian
Mak Comblang mengunjungi rumah si gadis. Setelah melalui obrolan dengan
orangtua si gadis, kemudian Mak Comblang memberikan uang sembe (angpaw) kepada
si gadis. Kemudian setelah ada kecocokan, sampailah pada penentuan ngelamar.
Pada saat itu Mak Comblang menjadi juru bicara perihal kapan dan apa saja yang akan
menjadi bawaan ngelamar.
2. Nglamar
Bagi orang Betawi, ngelamar adalah pernyataan dan permintaan resmi dari
pihak keluarga laki-laki (calon tuan mantu) untuk melamar wanita (calon none
mantu) kepada pihak keluarga wanita. Ketika itu juga keluarga pihak laki-laki
mendapat jawaban persetujuan atau penolakan atas maksud tersebut. Pada saat
melamar itu, ditentukan pula persyaratan untuk menikah, di antaranya mempelai
wanita harus sudah tamat membaca Al Quran. Yang harus dipersiapkan dalam
lamaran adalah: 1.Sirih lamaran
2. Pisang raja
3. Roti tawar
4. Hadiah Pelengkap
5. Para utusan yang tediri atas: Mak Comblang, Dua pasang wakil orang tua dari calon tuan mantu terdiri dari sepasang wakil keluarga ibu dan bapak.
3. Bawa tande putus
Tanda putus bisa berupa apa saja. Tetapi biasanya
pelamar dalam adat betawi memberikan bentuk cincin belah rotan sebagai tanda
putus. Tande putus artinya bahwa none calon mantu telah terikat dan tidak lagi
dapat diganggu gugat oleh pihak lain walaupun pelaksanaan tande putus dilakukan
jauh sebelum pelaksanaan acara akad nikah.
Masyarakat Betawi biasanya melaksanakan acara ngelamar pada hari Rabu dan
acara bawa tande putus dilakukan hari yang sama seminggu sesudahnya. Pada acara
ini utusan yang datang menemui keluarga calon none mantu adalah orang-orang
dari keluarga yang sudah ditunjuk dan diberi kepercayaan. Pada acara ini
dibicarakan:1. apa cingkrem (mahar) yang diminta
2. nilai uang yang diperlukan untuk resepsi pernikahan
3. apa kekudang yang diminta
4. pelangke atau pelangkah kalau ada abang atau empok yanng dilangkahi
5. berapa lama pesta dilaksanakan
6. berapa perangkat pakaian upacara perkawinan yang digunakan calon none mantu pada acara resepsi
7. siapa dan berapa banyak undangan.
4. Akad Nikah
Sebelum diadakan akad nikah secara adat, terlebih
dahulu harus dilakukan rangkaian pra-akad nikah yang terdiri dari:
1. Masa dipiare, yaitu masa calon none mantu dipelihara oleh tukang piara atau tukang rias. Masa piara ini dimaksudkan untuk mengontrol kegiatan, kesehatan, dan memelihara kecantikan calon none mantu untuk menghadapi hari akad nikah nanti.
2. Acara mandiin calon pengatin wanita yang dilakukan sehari sebelum akad nikah. Biasanya, sebelum acara siraman dimulai, mempelai wanita dipingit dulu selama sebulan oleh dukun manten atau tukang kembang. Pada masa pingitan itu, mempelai wanita akan dilulur dan berpuasa selama seminggu agar pernikahannya kelak berjalan lancar.
3. Acara tangas atau acara kum. Acara ini identik dengan mandi uap yang tujuanya untuk membersihkan bekas-bekas atau sisa-sisa lulur yang masih tertinggal. Pada prosesi itu, mempelai wanita duduk di atas bangku yang di bawahnya terdapat air godokan rempah-rempah atau akar pohon Betawi. Hal tersebut dilakukan selama 30 menit sampai mempelai wanita mengeluarkan keringat yang memiliki wangi rempah, dan wajahnya pun menjadi lebih cantik dari biasanya.
4. Acara ngerik atau malem pacar. Dilakukan prosesi potong cantung atau ngerik bulu kalong dengan menggunakan uang logam yang diapit lalu digunting. Selanjutnya melakukan malam pacar, di mana mempelai memerahkan kuku kaki dan kuku tangannya dengan pacar.
1. Masa dipiare, yaitu masa calon none mantu dipelihara oleh tukang piara atau tukang rias. Masa piara ini dimaksudkan untuk mengontrol kegiatan, kesehatan, dan memelihara kecantikan calon none mantu untuk menghadapi hari akad nikah nanti.
2. Acara mandiin calon pengatin wanita yang dilakukan sehari sebelum akad nikah. Biasanya, sebelum acara siraman dimulai, mempelai wanita dipingit dulu selama sebulan oleh dukun manten atau tukang kembang. Pada masa pingitan itu, mempelai wanita akan dilulur dan berpuasa selama seminggu agar pernikahannya kelak berjalan lancar.
3. Acara tangas atau acara kum. Acara ini identik dengan mandi uap yang tujuanya untuk membersihkan bekas-bekas atau sisa-sisa lulur yang masih tertinggal. Pada prosesi itu, mempelai wanita duduk di atas bangku yang di bawahnya terdapat air godokan rempah-rempah atau akar pohon Betawi. Hal tersebut dilakukan selama 30 menit sampai mempelai wanita mengeluarkan keringat yang memiliki wangi rempah, dan wajahnya pun menjadi lebih cantik dari biasanya.
4. Acara ngerik atau malem pacar. Dilakukan prosesi potong cantung atau ngerik bulu kalong dengan menggunakan uang logam yang diapit lalu digunting. Selanjutnya melakukan malam pacar, di mana mempelai memerahkan kuku kaki dan kuku tangannya dengan pacar.
Setelah rangkaian tersebut dilaksanakan, masuklah
pada pelaksanaan akad nikah. Pada saat ini, calon tuan mantu berangkat menunju
rumah calon none mantu dengan membawa rombongannya yang disebut rudat. Pada
prosesi akad nikah, mempelai pria dan keluarganya mendatangi kediaman mempelai
wanita dengan menggunakan andong atau delman hias. Kedatangan mempelai pria dan
keluarganya tersebut ditandai dengan petasan sebagai sambutan atas kedatangan
mereka. Barang yang dibawa pada akad nikah tersebut antara lain:
1. sirih nanas lamaran
1. sirih nanas lamaran
2. sirih nanas hiasan
3. mas kawin
4.miniatur masjid yang berisi uang belanja
5.sepasang roti buaya
6.sie atau perhu cina yang menggambarkan arungan
bahtera rumah tangga
8.hadiah perlengkapan
9.kue penganten
10.kekudang artinya suatu barang atau makanan
atau apa saja yang sangat disenangi oleh none calon mantu sejak kecil sampai
dewasa
Pada prosesi ini mempelai pria betawi tidak boleh
sembarangan memasuki kediaman mempelai wanita. Maka, kedua belah pihak memiliki
jagoan-jagoan untuk bertanding, yang dalam upacara adat dinamakan “Buka Palang
Pintu”. Pada prosesi tersebut, terjadi dialog antara jagoan pria dan jagoan
wanita, kemudian ditandai pertandingan silat serta dilantunkan tembang Zike
atau lantunan ayat-ayat Al Quran. Semua itu merupakan syarat di mana akhirnya
mempelai pria diperbolehkan masuk untuk menemui orang tua mempelai wanita.
Pada saat akad nikah, mempelai wanita Betawi
memakai baju kurung dengan teratai dan selendang sarung songket. Kepala
mempelai wanita dihias sanggul sawi asing serta kembang goyang sebanyak 5 buah,
serta hiasan sepasang burung Hong. Kemudian pada dahi mempelai wanita diberi
tanda merah berupa bulan sabit yang menandakan bahwa ia masih gadis saat
menikah.
Sementara itu, mempelai pria memakai jas Rebet,
kain sarung plakat, hem, jas, serta kopiah, ditambah baju gamis berupa jubah
Arab yang dipakai saat resepsi dimulai. Jubah, baju gamis, dan selendang yang
memanjang dari kiri ke kanan serta topi model Alpie menjadi tanda haraan agar
rumah tangga selalu rukun dan damai.
Setelah upacara pemberian seserahan dan akad
nikah, mempelai pria membuka cadar yang menutupi wajah pengantin wanita untuk
memastikan apakah benar pengantin tersebut adalah dambaan hatinya atau wanita
pilihannya. Kemudian mempelai wanita mencium tangan mempelai pria. Selanjutnya,
keduanya diperbolehkan duduk bersanding di pelaminan (puade). Pada saat inilah
dimulai rangkaian acara yang dkenal dengan acara kebesaran. Adapun upacara
tersebut ditandai dengan tarian kembang Jakarta untuk menghibur kedua mempelai,
lalu disusul dengan pembacaan doa yang berisi wejangan untuk kedua mempelai dan
keluarga kedua belah pihak yang tengah berbahagia.
5. Acare Negor
Sehari setelah akad nikah, Tuan Penganten
diperbolehkan nginep di rumah None Penganten. Meskipun nginep, Tuan Penganten
tidak diperbolehkan untuk kumpul sebagaimana layaknya suami-istri. None
penganten harus mampu memperthankan kesuciannya selama mungkin. Bahkan untuk
melayani berbicara pun, None penganten harus menjaga gengsi dan jual mahal.
Meski begitu, kewajibannya sebagai istri harus dijalankan dengan baik seperti
melayani suami untuk makan, minum, dan menyiapkan peralatan mandi.
Untuk menghadapi sikap none penganten tersebut,
tuan penganten menggunakan strategi yaitu dengan mengungkapkan kata-kata yang
indah dan juga memberikan uang tegor. Uang tegor ini diberikan tidak secara
langsung tetapi diselipkan atau diletakkan di bawah taplak meja atau di bawah
tatakan gelas.
6. Pulang Tige Ari
Acara ini berlangsung setelah tuan raje muda
bermalam beberapa hari di rumah none penganten. Di antara mereka telah terjalin
komunikasi yang harmonis. Sebagai tanda kegembiraan dari orangtua Tuan Raje
Mude bahwa anaknya memperoleh seorang gadis yang terpelihara kesuciannya, maka
keluarga tuan raje mude akan mengirimkan bahan-bahan pembuat lakse penganten
kepada keluarga none mantu.
Adat Menetap setelah Menikah
Dalam masyarakat dan kebudayaan Betawi, adat
tidak menentukan di lingkungan mana pengantin baru itu harus tinggal menetap.
Pengantin baru diberi kebebasan memilih di mana mereka akan menetap. Walaupun
pada masyarakat dan kebudayaan Betawi berlaku pola menetap yang ambilokal atau
utrolokal, tetapi ada kecenderungan pada pola menetap yamg matrilokal atau
unorilokal dewasa ini.
6.Berikut
transkrip wawancara dengan narasumber:
A: “Assalamualaikum wr.wb”
B: “Waalaikumsalam wr.wb”
A: “Maaf bu,kami ingin bertanya tentang tugas mata kuliah ilmu budaya dasar kami?”
B: “iyaa silahkan saja,masuk dulu sini gak enak ngomong diluar”
A: “Oiyaaa makasih bu saya ingin bertanya tentang asal usul betawi”
B: “Iyaa boleh saja”
A: “Kalau boleh saya tanya apa saja asal usul betawi yang di daerah matraman bu?”
B: “Ohhh kalau di matraman ada jawara dia selalu berbuat baik di daerah matraman” A:“Kalau tentang kebudayaannya betawi didaerah sini gimana tuh bu?”
7.Foto suasana wawancara dalam pernikahan
A: “Assalamualaikum wr.wb”
B: “Waalaikumsalam wr.wb”
A: “Maaf bu,kami ingin bertanya tentang tugas mata kuliah ilmu budaya dasar kami?”
B: “iyaa silahkan saja,masuk dulu sini gak enak ngomong diluar”
A: “Oiyaaa makasih bu saya ingin bertanya tentang asal usul betawi”
B: “Iyaa boleh saja”
A: “Kalau boleh saya tanya apa saja asal usul betawi yang di daerah matraman bu?”
B: “Ohhh kalau di matraman ada jawara dia selalu berbuat baik di daerah matraman” A:“Kalau tentang kebudayaannya betawi didaerah sini gimana tuh bu?”
B:“Biasanya
kebudayaan betawi si ada ondel-ondel sama tanjidor trs ada pencak silat
juga
setiap minggu selalu latihan di taman amir
hamzah”
A:“Kalau nilai budaya betawi disini masih ada gak bu?”
B:
“Sebenernya si masih ada kayak tanjidor tp kalau rumah adat yaa paling
ada
sekitar 2 rumah saja disekitar kampung matraman
sini?”
A:“Kalau tradisi pernikahannya gimana bu?”
B: “Kalau
tradisi pernikahannya biasa saja seperti bawa seserahan roti
buaya,lemari,makanan pada saat tamu datang seperti bawa
kredok,gado-gado,soto
betawi dan kerak telor” A: “Acaranya
kalau pernikahan betawi dimulai dari mana tuh bu?”
B:“Dimulai dengan pencak silat,palang
pintu,adu pantun,lalu rombongan pria baru memasuki kediaman calon
mempelai
wanita”
A:
“okeee makasih ibu atas infonya yang telah ibu berikan ke kelompok kami
tentang
kebudayaan
betawi”
B:“sama-sama semoga tugasnya mendapatkan nilai yang bagus yaa”
A: “oke oce kita pamit dulu yaa bu assalamualaikum wr.wb B:
“waalaikum salam wr.wb
KETERANGAN:
A:PEWAWANCARA
B:NARASUMBER
7.Foto suasana wawancara dalam pernikahan
Komentar
Posting Komentar